Articel

Toleransi dari Kota Salatiga

Kontroversi soal fatwa MUI yang mengharamkan umat Islam untuk mengucapkan selamat berhari natal kepada pemeluk agama kristiani di twitter cukup mengusik saya. Sejak lahir saya lebih banyak tinggal di Salatiga, kota kecil di Jawa Tengah, dan yang namanya saling mengucapkan selamat berhari raya itu sudah tradisi dari jaman jebot. Jadi cukup dilematis buat saya yang muslim, tapi pernah katolik, dan sekarang kerja di universitas kristen, apakah harus mengucapkan selamat hari natal atau tidak kepada keluarga dekat dan kolega di kantor. Kalau mengucapkan, nanti dianggap haram. Kalau tidak mengucapkan, saya tidak mau juga merenggangkan rasa kekeluargaan dan pertemanan di antara orang-orang terdekat. 
Salatiga sendiri adalah kota yang plural dan heterogen. Ada berbagai orang dari berbagai latar belakang. Agama cuma salah satu label. Suku juga beragam karena keberadaan sebuah universitas swasta di kota ini. Kebetulan universitas ini didirikan oleh beberapa gereja dari beberapa kawasan di Indonesia sehingga mahasiswanya pun datang dari kawasan-kawasan ini. Tak sedikit para mahasiswa ini yang kemudian memutuskan menetap di Salatiga setelah lulus, menikah dengan orang dari berbagai suku pula. Belum lagi kedatangan para orang asing yang belajar bahasa Indonesia tiap tahun. Juga keberadaan beberapa pabrik di dekat Salatiga yang mempekerjakan kaum ekspatriat terutama dari Korea akhir-akhir ini. Ini terjadi sudah bertahun-tahun sejak saya kecil sehingga saya sudah terbiasa bertetangga atau berkerabat dengan orang dari berbagai latar belakang. Sampai-sampai di satu kesempatan kelas akademi berbagi (akber), Mbak Ainun Chomsun, pendiri akber yang berasal dari Salatiga, menyatakan bahwa ia pun tak pernah kaget ketika ketemu dengan orang baru yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Karena ya memang dari kecil, kami sudah terbiasa bertemu dengan orang dari berbagai latar belakang. Untuk ukuran kota kecil berpenduduk asli 177.088 jiwa (data statistik Januari 2011) dan mungkin total 200 ribuan kalau memperhitungkan para pendatang, keberagaman macam ini terbilang unik.
Keberagaman macam ini, dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit tentu membawa konsekuensi. Ada dua kemungkinan, tingkat konflik yang besar atau malah tingkat toleransi yang melebihi normal. Untungnya yang terjadi di Salatiga adalah konsekuensi yang kedua: tingkat toleransi yang besar akan keberagaman, terutama keberagaman agama.
Ada beberapa contoh dari toleransi beragama yang besar ini yang saya alami di tingkat antar pribadi, di tingkat komunitas saya di kawasan Jetis Wetan, dan di tingkat komunitas kota.
Di tingkat antar teman, saya dan teman-teman kalau janjian ketemu biasanya tanpa dibahas akan memilih jam di mana jam itu bebas dari kewajiban keagamaan. Kalau janjian hari Minggu, pasti diusahakan di jam di mana teman yang kristiani tidak ke gereja. Kalau janjian di hari biasa, pasti tidak di jam ketika teman yang muslim harus sholat, atau tidak di hari Jumat ketika teman muslim yang laki-laki harus sholat Jumat. Dan ini semua tanpa harus dibahas panjang lebar. Kami masing-masing sudah paham akan kebiasaan ibadah berbagai agama sehingga bisa menyesuaikan diri.
Di tingkat komunitas, RT kami punya kebiasaan mengadakan temu warga tiap 2 bulan sekali, bergiliran di rumah yang berbeda. Dalam merencanakan waktu temu warga ini, kami tidak pernah harus berbicara panjang lebar untuk menentukan waktunya. Yang pasti, tanpa banyak diskusi, kami punya aturan tidak tertulis yang sama-sama dipahami bahwa temu warga tidak akan pernah dilaksanakan hari Sabtu/Minggu, dan selalu diadakan setelah isya. Kenapa? Karena hari Sabtu/Minggu adalah hari ke gereja bagi beberapa tetangga, dan beberapa tetangga yang muslim pasti harus sholat isya dulu sebelum datang ke temu warga. Selain itu, temu warga di bulan Desember pasti akan dilaksanakan di rumah tetangga yang kristiani, sedangkan temu warga di bulan di mana lebaran dirayakan pasti akan dilaksanakan di rumah tetangga yang muslim. Kenapa? Karena sekalian kami berhalal bihalal dan bersama-sama berbagi kebahagiaan merayakan hari raya.
Dalam soal peristiwa pernikahan, kematian atau segala peristiwa penting, toleransi ini terwujud dalam kepanitiaan. Apa pun agama yang menikah atau yang meninggal, tetangga akan secara otomatis dan sukarela ikut membantu-bantu. Kalau pernikahan, panitia pernikahan terdiri dari tetangga-tetangga. Dan pada saat upacara pernikahan, panitia tentu hadir, apa pun agama yang menikah. Kematian lebih-lebih lagi, semua tetangga akan membantu di rumah duka dalam berbagai cara, misalnya menyiapkan tenda, memasak makanan untuk yang takziah, bahkan sampai ikut menggali kubur. Kalau suatu keluarga mengadakan pengajian/biston/ibadat sabda, keluarga itu akan mengirimkan makanan ke tetangga yang berbeda agama sesudah pengajian/biston/ibadat sabda. Makanan yang dikirimkan itu disebut “berkatan” dari kata “berkat” yang intinya adalah berbagi berkat. Indah sekali bukan?
Di tingkat kota, yang namanya mesjid dan gereja berhadap-hadapan itu nggak cuma di satu lokasi. Di lapangan Pancasila, masjid raya berada di kawasan yang sama dengan Gereja Kristen Jawa Salatiga Utara dan HKBP. Di Jalan Jendral Sudirman, masjid Pandawa berhadapan dengan GKI. Mesjid Kauman tidak jauh letaknya dari GKJ. Dan masih ada beberapa kawasan yang bercirikan begini. Makanya saling meminjamkan lahan untuk parkir ketika perayaan hari raya, itu sudah sangat biasa di Salatiga. Di tingkat politik, pernah ada walikota dan wakil walikota yang beragama berbeda. Bahkan ini terjadi di jaman sebelum Jokowi dan Ahok jadi gubernur di Jakarta sana. Ketika walikota yang muslim ini (Totok Mintarto) meninggal, dan tugasnya diteruskan oleh wakil walikota yang kristen (dan orang Manado pula! namanya John Manoppo), tidak ada protes atau keributan dari warga Salatiga.
Bicara soal perbedaan etnis, ketika saya di Melbourne, saya pernah berbincang dengan seorang teman Indonesia dari Ambon. Ketika dia tahu bahwa saya berasal dari Salatiga, dia langsung menceritakan betapa teman-temannya yang pernah atau sedang kuliah di Salatiga merasa sangat kerasan di Salatiga karena merasa diterima. Hal ini juga diungkapkan oleh beberapa teman saya semasa kuliah di Salatiga. Mereka selalu rindu Salatiga dan selalu merasa tinggal di Salatiga itu betapa nyaman.
Ada dua hal yang saya pelajari dari pengalaman saya tinggal di Salatiga. Satu, bertoleransi di Salatiga adalah mengetahui secukupnya mengenai kebiasaan (ibadah) agama lain dan mempertimbangkannya sehingga bisa paham dan menyesuaikan diri ketika harus bertransaksi sosial dengan kerabat/teman/tetangga yang beragama lain. Yang kedua, bertoleransi di Salatiga adalah mengenal manusia dengan segala kemanusiaannya di tingkat sehari-hari sehingga tiba pada kesimpulan bahwa kita semua sama-sama manusia, walaupun berbeda-beda latar belakang dan label.
Jadi, sama seperti tahun-tahun yang lalu, saya memutuskan untuk mengucapkan selamat hari natal kepada Anda sekalian yang beragama kristiani. Dengan mengucapkan itu, saya tidak merasa berkurang satu persen pun keimanan Islam saya, dan malah merasa bahwa dalam hubungan antar manusia saya menjadi semakin rukun dan dekat dengan Anda sekalian. Kita semua manusia, apa pun labelnya!



http://nenyish.wordpress.com/2012/12/25/toleransi-dari-kota-salatiga/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar